TEMPO.CO, Jakarta - Rumah sakit swasta akhir-akhir ini menghadapi keterlambatan pembayaran klaim dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan. Keterlambatan tersebut membuat rumah sakit swasta terpaksa menalangi biaya untuk rumah sakit hingga dicairkan oleh pemerintah. Perusahaan obat-obatan juga enggan memasok obat jika biaya tidak disalurkan segera.
Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana mengatakan dampak keterlambatan pembayaran obat tersebut berakibat pada rumah sakit yang tidak dapat membayar obat dan menopang biaya operasional rumah sakit (RS). "Kondisi tersebut akan membuat kekosongan obat karena rumah sakit terlambat membayar obat ke distributor obat dan pemenuhan kebutuhan operasional yang lain," ujarnya, Senin, 12 Februari 2018.
Baca: ICW: Triliunan Dana Kapitasi BPJS Kesehatan Rawan Dikorupsi
Keterlambatan pembayaran klaim tersebut dikhawatirkan bakal mengganggu keuangan RS. Bahkan kondisi ini, kata Arida, berpotensi membuat mutu pelayanan menurun, di tengah upaya pemerintah mendorong peningkatan pelayanan kesehatan.
Arida menjelaskan, saat ini proses verifikasi klaim dari BPJS Kesehatan cukup lama, yakni dua hingga tiga bulan. Misalnya pembayaran untuk Oktober–November, BPJS baru menyerahkannya pada Februari 2018.
Selain itu, kata Arida, tak sedikit RS yang mempertanyakan tarif biaya rumah sakit. "Dalam permenkes disebutkan tarif akan dievaluasi dalam dua tahun, tapi selama empat tahun ini kami rasakan belum sesuai harapan. Berada di bawah real cost rumah sakit,” ucapnya.
Selain itu, pihaknya meminta pemerintah tidak menetapkan satuan harga pengobatan berdasarkan kelas rumah sakit, tapi sesuai dengan kompetensi pelayanannya. Pemerintah diminta menyelaraskan biaya klaim untuk RS swasta dapat meningkat, setidaknya 30 persen dari angka saat ini, yakni 5 persen lebih tinggi dibanding rumah sakit milik pemerintah.
Pasalnya, menurut Arida, RS swasta harus menggunakan biaya tanpa subsidi pemerintah. “Selama ini dibedakan. Makin tinggi kelasnya, akan semakin besar standar biayanya. Kemudian juga berdasarkan regionalisasi. Untuk swasta kan rata-rata kelas C. Harusnya berdasarkan base on kompetensi, bukan berdasarkan kelas rumah sakit."
ARSSI meminta pemerintah tegas menyelesaikan sengkarut masalah yang dihadapi oleh rumah sakit swasta ini. Kondisi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan ikut mendorong sejumlah kekhawatiran tersebut semakin melebar.
Di sisi lain, RS swasta makin banyak ikut bekerja sama dengan pemerintah dalam menerapkan sistem JKN. Hal ini merupakan sebuah tantangan karena program JKN membuat seluruh masyarakat harus menjadi peserta. "Ini peluang dan tantangan RS swasta untuk berkembang," ucap Arida.
Program ini, menurut Arida, juga sangat bagus dan bermanfaat karena akan meningkatkan jumlah peserta. "Tapi tentunya harus diimbangi beberapa perbaikan seperti soal tarif, kecukupan anggaran. Akan sangat bagus apabila sistem kecukupan anggaran bagus, pembayarannya bagus, kecepatan pembayaran dan kecepatan bayar tarif bagus, maka berdampak bagus ke JKN dan rumah sakit."
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebutkan pembayaran klaim ke RS memang tidak dilakukan per bulan, tapi beberapa bulan sekaligus. "Kalau ada RS yang bilang belum dibayar, itu bukan tunggakan lama. Tapi memang pola pembayarannya seperti itu. Ada proses audit yang sangat ketat," ujarnya di kantor Tempo, awal Desember 2017.
Khusus untuk fasilitas kesehatan tingkat I, kata Fachmi, pembayaran klaim dilakukan rutin pada awal bulan. Besarannya, yaitu sekian rupiah dikali dengan jumlah peserta yang terdaftar pada faskes I itu.
"Dibayar tunai di depan, harapannya faskes tingkat I itu melakukan kampanye hidup sehat supaya minim orang yang sakit," ujar Fachmi. Dengan minimnya orang yang sakit, bujet yang diberikan BPJS Kesehatan menjadi tidak terpakai. "Meskipun BPJS Kesehatan pada akhirnya toh juga tidak menarik dana itu."
Fachmi menyebutkan bujet yang akhirnya tak terpakai itu semata-mata untuk insentif bagi faskes tingkat I untuk kampanye hidup sehat. "Bila kampanye itu berhasil, maka pasien yang lanjut dirujuk ke RS (faskes II) menjadi berkurang. Ini target BPJS," katanya.